Uang


Oleh: M. Anis Matta, Lc.
Ini adalah bagian dari ceramah saya ketika Jaulah, sekedar ide semoga bermanfaat dan menjadi bahan untuk didiskusikan, meski ada Ikhwah yang mengatakannnya Anismismi (ajaran anis) yang terkesan glamour dan konsumtif… tapi sekali lagi ini adalah sekedar ide…
Bismillah,
Ikhwan dan Akhwat sekalian,
Alhamdulillah kita dipertemukan oleh Allah dipagi hari ini, walaupun kemarin saya ragu-ragu apakah saya bisa hadir hari ini atau tidak. Istri saya sakit demam berdarah dan dirawat di rumah sakit hingga hari ini. Alhamdulillah hari ini ada perbaikan sedikit dan bisa ditinggal. Selain itu, rasanya sudah rindu sama antum semuanya karena cukup lama tidak ke sini. Sebenarnya saya punya rencana kunjungan ke sini pada bulan Januari yang lalu dalam rangkaian jaulah ke 13 DPW bersama 13 pengurus Bidang Kaderisasi dan Bidang Pembinaan Wilayah. Rencana
itu dibatalkan karena saat itu sedang musim pesawat jatuh, jadi ada 8 DPW yang kita pending perjalanannya termasuk ke kota Pekan Baru ini.
Ikhwan sekalian.
Pagi ini kita bicara tentang uang. Sudah lama sekali saya mengusulkan bagian kurikulum di departemen kaderisasi untuk memasukkan pokok bahasan  tentang  uang.  Gagasan-  gagasan  itu  mulai  muncul  ketika saya dahulu berada di awal dakwah ini. Salah satu pekerjaan yang
saya lakukan adalah Lajnah Minhaj, di Bidang Kaderisasi bersama kang Aus. Saat itu, saya ikut menyusun beberapa Materi Tahmidi H1, H2. Kita  memang  tidak  pernah  berfikir  untuk  menyusun  satu  materi tentang uang karena yang ada dibenak kita bahwa bagian- bagian dari
tarbiyah itu adalah tarbiyah ruhiyah, tarbiyah fikriyah dan tarbiyah jasadiyah. Ketika kita membuat partai, kita menambah sedikit yaitu materi tarbiyah siyasiyah.
Jadi  Kalau  wasilah  dari  tarbiyah  ruhiyah  itu  banyak,  ada  Lailatul Katibah  juga  mutaba’ah  yaumiyah.  Wasilah  tarbiyah  fikriyah  juga banyak tatsqif dan macam- macam. Tarbiyah Jasadiyah ada latsar ada mukhoyam. Tarbiyah siyasiyah sudah dengan sendirinya karena ada
wasilah berupa partai. Tapi kita semuanya menghadapi suatu benturan realita yang disebabkan karena ada missing link dalam system berfikir kita.
Ada satu kosa kata yang tidak masuk kedalam benak kita padahal itu sangat  menentukan  masa  depan  kita  yaitu  uang.  Jika  ada  yang bertanya kenapa kita miskin maka jawab "tidak belajar masalah uang".
 Ikhwan sekalian
Salah  satu  gejala  benturan  budaya  yang  sering  kita  lihat  muncul bersama munculnya orang-orang setengah kaya baru. Tapi itu tidak disebabkan karena bibit- bibt kemiskinan itu memang ada dalam diri kita, ada di lingkungan kita, bahkan ketika kita mulai membuat partai. Padahal  kita  belum  kaya  dan  memang  belum  kaya.  Apabila  kita memakai standar Kiyosaki, masuk dalam tahap amanpun belum. Tapi sudah dianggap hanya kayak arena sedikit beda dengan teman-teman ikhwah yang lain. Kita dianggap kaya karena memiliki mobil padahal mobil itu kebutuhan pokok dalam fiqih Islam. Kita juga dianggap kaya karena bisa bangun rumah, padahal itu indikator dari garis kemiskinan. Rasulullah mengatakan "Cukuplah bagi seorang Muslim itu bahwa dia punya sebuah rumah dan seorang pembantu". Jadi, rumah itu sama dengan  pakaian.  Hanya  saja,  di lingkungan  kita,  banyak  yang mempunyai anggapan, orang disebut kaya kalau sudah punya rumah.
Ikhwah sekalian
Oleh  karena  itu,  banyak  sekali  yang  bolong  dalam  tsaqafah  kita tentang uang. Kita bukan hanya salah membuat persepsi-persepsi itu, tetapi  juga  terkadang  mempunyai  kecenderungan  anti  uang.  Kalau istilah Ust. Rahmat Abdullah ikhwah itu sabar menderita tapi tidak sabar melihat orang lain lebih kaya. Makanya mudah muncul gossip dikalangan  orang  yang  punya  sedikit  kelonggaran  secara  finansial, apalagi kalau sebab kelonggaran finansialnya itu karena dia menjadi anggota dewan. Jadi pada tahun 1999, saya jadi ketua tim khusus. Pada waktu itu sebagai Sekjen saya tahu persis dimana letak daerah kuatnya  P**  kalau  saya  mau  jadi  anggota  dewan.  Ketika  itu  saya dicalonkan dari Bandung, Jakarta dan Sulawesi Selatan atas usul DPW masing- masing. Nah, pilihan tertinggi jatuh pada Sulawesi Selatan. Waktu itu saya belum mau jadi anggota dewan karena saya belum punya rumah dan mobil. Saya tidak tidak mau bila nanti ada persepsi bahwa saya punya mobil dan rumah karena jadi anggota dewan. Oleh
karena itu saya pilih Sulawesi Selatan. Jika saya pilih Bandung atau Jakarta pasti saya terpilih jadi anggota dewan pada tahun 1999. Saya mengerti  persepsi-persepsi,  gossip  dan  fitnah  tentang  harta  di kalangan kita itu banyak disebabkan tsaqafah yang bolong tentang uang. Jadi, kita bukan hanya tidak berbakat jadi kaya tapi juga tidak senang dengan orang kaya dan
cenderung anti kekayaan.
Kapan  saatnya  kita  mulai  mengalami  benturan  keuangan.  Yang pertama  setelah  kita  punya  anak.  Dahulu  waktu  saya  kuliah,  kita dimotivasi untuk cepat menikah oleh para murabbi kita, dengan satu alasan  kemaksiatan  sudah  merajalela  disekitar  kita,  daripada  kita berzina lebih baik kita menikah. Kalau kita berargumen lagi bahwa kita belum ada pekerjaan karena kita masih tawakkal   ‘alallah,  innallaha  Ghoniy,  seluruh  alasan-  alasan  aqidah
dikerahkan untuk mendorong kita nikah.
Sebagian  besar  angkatan  saya  menikah  di  tahun  pertama  waktu kuliah. Saat itu saya belum menikah. Di tahun kedua lebih banyak lagi yang menikah, saya belum menikah. Di tahun ketiga lebih banyak lagi yang menikah. Saya termasuk yang telat menikah pada waktu itu. Tapi
kemudian kita menemukan fakta bahwa ikhwah-ikhwah yang menikah semasa kuliah itu sebagian besar angka pelajarannya jeblok karena disibukkan  dengan  dakwah  juga  harus  mencari  ma’isyah.  Saya menikah di tahun keempat setelah angka saya stabil karena naik satu
point lagi. Dosen saya sampai mengatakan, kalau kamu ambil Master, menikah satu kali lagi. Ada ikhwah yang mengatakan kepada saya, Masya Allah, Antum ini merencanakan sesuatu dengan detail. Saya bilang antum punya semangat tapi tidak punya rencana bagus.
Jadi kita semua mulai mengenal uang dan mempunyai persepsi bahwa uang itu perlu ketika anak kita menangis. Ketika saya datang ke calon mertua-saat  itu  beliau  anggota  DPR  dan  sudah  17  tahun  menjadi petinggi  Golkar—untuk  melamar,  dia  bertanya  kepada  saya:  "Anak
saya mau dikasih makan apa?" Saya bilang mungkin saya tidak share di  rumah  bapak  tapi  Insya  Allah  tidak  makan  batu.  Kemudian  dia bertanya  lagi, "Pendapatan  kamu  berapa?"  Saya  jawab,  saya  ada
beasiswa 200 ribu perbulan. "Selain itu apa lagi?" Saya bilang tidak
ada. "Masih kuliah". Tapi waktu itu istri saya mengancam, kalau tidak kawin dengan saya, dia tidak mau kawin lagi. Akhirnya kita menikah juga. Jadi kita ini ikhwah learning by accident. Belajar dari benturan.
Ikhwah sekalian
Rasanya  saya  sendiri  sebenarnya  tadinya  tidak  pernah  tertarik  mengenal uang lebih jauh. Karena 6 tahun saya di Pesantren juga tidak pernah belajar  uang.  Lima tahun setengah  kuliah di LIPIA Fakultas Syari’ah juga tidak pernah belajar uang kecuali 1 bab dalam pelajaran
Fiqh yaitu kitab zakat, itupun dalam orientasi Amil Zakat, tidak ada orientasi menjadi muzakki. Saya mulai tertarik dengan uang setelah mengalami benturan diawal tadi saya ungkapkan, juga benturan ketika saya di Sekjen. Setelah jadi Sekjen itulah saya mulai menilai ada suatu masalah besar yang akan kita hadapi kalau masalah-masalah ini tidak selesai. Sejak itulah saya mempelajari hal ini. Sebelumnya meskipun saya mengajar Ekonomi Islam di UI, banyak belajar dan membaca masalah-masalah ekonomi, juga banyak membaca buku- buku bisnis
dan bergaul dengan orang-orang bisnis, saya belum seberapa tertarik secara langsung dan punya perhatian secara khusus terhadap masalah uang.  Ketertarikan  itu  mulai  muncul  setelah  mengalami  benturan betapa  sulitnya  kita  mendanai  aktifitas perpolitikan ini.
Bersambung

Comments :

0 komentar to “Uang”

Posting Komentar

 

Total Yang Silaturahim