MANHAJUT TATSABBUT WAT TABAYYUN FIL ISLAM

Ikhwah wa akhwat Ad-Da’iyyat hafizhakumuLLAH,
Salah satu mawqif (sikap) yang harus dimiliki oleh kader di dalam mengemban amanah dakwah dan jihad menegakkan syari’ah ALLAH SWT di muka bumi ini adalah sikap ber-husnuzhan (berprasangka baik) kepada saudara kita sesama mu’min --siapapun dia dan dari kelompok apapun mereka-- sepanjang ia atau mereka dikenal keikhlasannya dan perjuangannya untuk Islam dan meninggikan kalimatuLLAH, maka hendaklah kita menahan diri dari berprasangka buruk dan apalagi sampai memfitnah atau menyebar isu.

Sesama ikhwah, harakah dan jama'ah adalah kumpulan manusia, maka setiap ijtihad wajib atasnya ihtimal al-khatha' (mengandung peluang untuk salah), sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi'i -rahimahuLLAH- : (pendapatku benar tapi mungkin saja salah, dan pendapat selainku adalah salah tapi mungkin saja benar). Ikhwah wa akhwat fiLLAH mencermati banyaknya kader yang saat ini terjatuh ke jurang kehinaan dengan tertimpa penyakit menyebar issu dan fitnah, maka semoga tulisan ini menjadi bermanfaat.

JIKA  MENERIMA  HADITSUL-‘IFK  MAKA  WAJIB  TABAYYUN/TATSABBUT

Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat : 6)
Dalam ayat ini ALLAH SWT memerintahkan kepada orang-orang yang benar-benar shadiq kepada ALLAH dan Rasul-NYA (shaddaqu liLLAHI wa rasuliHI), jika ada orang fasik membawa berita tentang sebuah kaum agar dilakukan tabayyun (dalam qira’ah Ahlul-Madinah dikatakan tatsabbut), yaitu jangan langsung diterima tanpa dilakukan pengecekan kebenarannya[1].
Sehingga Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama tidak mau menerima riwayat dari orang yang majhul (tidak dikenal kepribadiannya) karena khawatir adanya kefasikan dalam dirinya[2]. Sementara Imam Al-Alusi menyatakan bahwa makna fasik ialah orang yang masih suka bermaksiat, atau suka melanggar salah satu aturan agama[3]. Dan caranya adalah hendaklah dengan mengecek ke qiyadah (Nabi SAW), atau kepada Kitab wa Sunnah[4].

ADA  DIKALANGAN  IKHWAH  YANG  DOYAN  MENYEBAR  HADITSUL -‘IFK

Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.” (An-Nuur : 11)
Ayat di atas mengindikasikan kepada kita bahwa diantara para penyebar isu itu ada diantaranya di kalangan para ikhwah kita sendiri, kata-kata ‘ushbah dalam ayat tersebut dimaknai oleh para mufassir sbb ;
1.       Jama’ah diantara kalian[5]
2.       Mereka bukan hanya 1 atau 2 orang diantara Jama’ah, melainkan banyak orang yang ikut pula terlibat[6]
3.       Mereka lalu menjadi suatu firqah yang memiliki satu kesamaan dan saling bekerjasama menyebar isu tersebut[7]
Hal ini memberikan pelajaran yang berharga pada kaum al-muslimin al-mujahidin al-muttaqin bahwa para penyebar isu tanpa didukung fakta itu sudah pernah terjadi di era terbaik, dan oleh karenanya sangat mungkin terjadi di kalangan ikhwah kita saat ini, dan topik isu juga terjadi berkaitan dengan pribadi al-qadah (yaitu Nabi SAW) atau saat ini kepada para qiyadah Jama’ah.

HADITSUL -‘IFK  ITU  ADA  HIKMAHNYA  BAGI  JAMA’AH

Allah berfirman :
“Jangan kalian kira (dampat isu tersebut) buruk bagi kalian namun ada kebaikan (dibalik itu) bagi kalian”. (An-Nuur : 11)
Maknanya jangan kalian mengira dampak isu tersebut buruk bagi yang terkena fitnah tersebut disisi ALLAH dan juga disisi manusia, bahkan ia baik bagi kalian[8]; berkata Ibnu Katsir : Baik bagi kalian di dunia dan di akhirat yaitu, bukti kebenaran ALLAH SWT atas perilaku kalian tersebut di dunia dan kedudukan yang tinggi bagi kalian kelak di akhirat[9]; dan itu berlaku bukan hanya bagi Nabi SAW dan keluarganya, melainkan juga bagi ummat yang lainnya, sebagaimana khithab dalam konteks ayat ini yaitu bagi Shafwan RA dan juga bagi keluarga Abubakar RA[10].

PELAKU  HADITUSL-‘IFK  AKAN  MENDAPATKAN  BALASAN  ALLAH  SWT

Allah berfirman :
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. (An-Nuur : 11)
Maknanya bahwa setiap orang yang punya andil dalam menyebarkan isu tersebut dalam jama’ah telah tetap baginya dosanya disisi ALLAH SWT[11], dan bagi gembong utama para pelaku penyebar isu tersebut (menurut Ibnu Katsir maknanya adalah para pelaku utamanya, yang paling getol menyebarkannya, menambah-nambahinya[12]) baginya azab yang amat pedih (menurut Imam Al-Baghawi maknanya ialah kepastiannya akan dimasukkan ke neraka kelak[13]).

MENJAUHI  SU’UZHAN  dan  MEMASYARAKATKAN  HUSNUZHAN  DIKALANGAN  IKHWAH

Allah SWT berfirman :
"Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?!” (An-Nuur : 12)
Berkata Imam At-Thabari bahwa digunakannya kata ‘anfusihim’ dalam ayat ini menunjukkan bahwa kaum mu’minin itu ibarat satu tubuh karena keyakinan mereka satu[14], bahwa para penyebar isu yang busuk tersebut mencerminkan kondisi hati mereka yang juga amat busuk di dalam, bahkan disanalah awal mulanya kebusukan tersebut sehingga mereka menjadi suka menyebar isu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam ayat tersebut setelah lafzh ‘zhanna al-mu’minuna wal mu’minat’ (yang merupakan pekerjaan hati) kemudian diikuti wa qalu (ya’ni bi alsinatihim= yaitu pekerjaan mulut-mulut mereka)[15], Imam Khazin menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa berprasangka baik thd perbuatan ikhwah sblm ada bukti hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib pula jika ada yang menyebar isu tersebut, maka yang mendengarnya wajib mengatakan di depan mukanya : Ini hanyalah kedustaan yang terang-terangan![16]

PENYEBAR  ISU  HARUS  SEGERA  BERTAUBAT  dan  BERHENTI  AGAR  BISA  DITERIMA  TAUBATNYA

Allah SWT berfirman :
“Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu”. (An-Nuur : 14)
Imam At-Thabari menafsirkan makna ‘fadhluLLAH’ dalam ayat ini yaitu terhindar dari disegerakannya turun azab di dunia bagi para pelakunya, sementara ‘rahmatuHU’ dimaknai pengampunan atas dosa2 tersebut[17]; sementara Imam Ats-Tsa’alabiy menambahkan bahwa besarnya dosa pelaku isu adalah karena berita itu semakin menyebar akan semakin bertambah pula kebohongannya, sehingga semakin besar pula dosanya bagi para pelakunya[18]; maka jika penyebar isu seorang mu’min maka hendaklah ia segera bertaubat dan berhenti dari perbuatannya sebagaimana para pelaku isu di masa Nabi SAW yaitu Misthah bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit, atau jika ia tidak mau bertaubat maka baginya azab di akhirat sebagaimana pelaku isu lainnya yaitu AbduLLAH bin Ubay sang munafik, wal ‘iyadzubiLLAH..

PENYEBAR  ISU  MENGIRA  PERBUATANNYA  MENYEBAR  ISU  ITU  DOSANYA  REMEH  SAJA

Allah SWT berfirman :
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (An-Nuur : 15)
Maknanya adalah : Ketika kalian berkata bahwa ia begini dan begitu, padahal kamu tidak mengetahui hakikat kebenaran berita yang kamu katakan tersebut, lalu kalian menyangka membicarakan isu tersebut hal yang sepele saja, padahal disisi ALLAH SWT pembicaraan kalian tersebut adalah suatu dosa yang amat besar[19]. Bagaimana tidak besar dosanya? Sementara dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa nabi SAW bersabda : “Ada seseorang yang berbicara dengan satu kata saja yang dibenci ALLAH, yang ia tidak menyadari betapa dosanya, sehingga nanti ia dilemparkan ke neraka dari jarak yang lebih jauh dari Timur dan Barat.”[20]

SIKAP  ORANG  MU’MIN  SAAT  MENDENGAR  HADITSUL-’IFK

Allah SWT berfirman :
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.”            (An-Nuur : 16)
Inilah sifat orang yang beriman saat mendengar haditsul-‘ifk, yaitu tidak membenarkannya, Imam Ibnu katsir menyatakan bahwa wajib bagi seorang muslim jika mendengar isu langsung menolaknya dan berprasangka baik, dan jika terasa dihatinya ada hal tidak baik tapi ia tidak memiliki bukti-bukti maka haram baginya menyebarkannya, semoga dengan demikian ia masih diampuni berdasarkan hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya ALLAH SWT mengampuni ummatku apa-apa yang ada dalam hatinya, selama tidak ia ucapkan atau ia lakukan.”[21]
Imam At-Thabari menambahkan bahwa kalimat tasbih dalam ayat ini menunjukkan tidak cukup hanya menolak isu, tapi juga harus diikuti sifat bara’ (berlepas-diri) terhadap para penyebar isu tersebut[22]. Oleh karena itu, suatu saat sifat akan menghinggapi orang-orang yang beriman jika tidak diantisipasi dan diluruskan, maka IA Yang maha Rahman-pun mengingatkan kepada hamba-hambaNYA yang beriman dengan firman-NYA: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian besar dari prasangka itu adalah dosa...”(Al-Hujurat  :12) ; juga sebagaimana sabda kekasih kita SAW: “Jauhilah prasangka itu, karena prasangka itu sedusta-dusta ucapan.”[23]

MENGULANGI  MENYEBAR  ISU  DAPAT  MENGELUARKAN  SEORANG  DARI  KEIMANAN

Allah SWT berfirman :
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. (An-Nuur : 17)
Maknanya adalah ALLAH SWT benar-benar memperingatkan dengan sangat keras (mutawa’idan) agar orang beriman tidak mengulang lagi perbuatan tersebut selama-lamanya (abadan)[24], berkata Imam Al-Biqa’iy bahwa lafzh ‘in kuntum mu’minin’ bermakna : Jika kamu layak untuk disifati beriman maka kamu tidak akan mengulanginya, dan jika kamu mengulanginya maka kamu tidak layak untuk disifati sebagai orang beriman[25].
Berkata Imam Asy-Syaukaniy bahwa dalam ayat ini benar-benar nampak ada dosa yang amat besar dan teguran yang paling keras[26] bagi yang berani mengulangi perbuatan tersebut, Sayyid Quthb menambahkan bahwa lafzh ‘ya’izhukum’ menggunakan uslub-tarbiyyah (gaya mendidik) agar menimbulkan kesan yang mendalam bagi yang mendengar/membaca ayat ini[27].

ORANG  YANG  SENANG  KEBURUKAN  SAUDARANYA  TERSEBAR  KEMANA2  MENDAPAT  2  AZAB

Allah berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (An-Nuur : 19)
Maknanya adalah bahwa azab di dunia dalam ayat ini yaitu berupa hukuman dera/cambuk bagi pelakunya dan azab di akhirat yaitu berupa siksa ALLAH SWT[28]. Imam Al-Baghawi berkata bahwa makna ALLAH lebih Mengetahui dalam ayat ini yaitu kedustaan dalam perkataan kalian tersebut[29],  sementara  Imam Al-Alusiy menambahkan  bahwa walaupun telah dilakukan hukum had/dera tapi belum tentu ALLAH SWT mengampuni dosanya tersebut[30]. Oleh sebab itu maka telah bersabda Nabi SAW : Barangsiapa yang menutupi aurat saudaranya sesama muslim di dunia, maka ALLAH SWT akan menutup auratnya di Hari Kiamat nanti[31].

WAJIB  MENYERAHKAN  INFORMASI  dan  MENERIMA  KLARIFIKASINYA  DARI  QIYADAH ‘ULYA
Allah berfirman :
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)
Berkata Imam Abu Ja’far At-Thabari bahwa maknanya adalah jika ada berita tentang kekalahan kaum beriman oleh musuh, atau adanya isu tentang kekuatan dan persiapan musuh maka mereka segera menyebarkan dan menyiarkannya sebelum menanyakan kebenarannya pd Nabi SAW[32]; sementara Imam Ibnu Katsir menafsirkannya bahwa mereka mudah menyebarkan berita-berita sebelum mengecek kebenarannya, melainkan langsung disampaikan kembali dan disebarkan, tanpa mengetahui ke-shahih-an berita yang mereka dengar tersebut[33];
Padahal menyampaikan berita yang belum pasti (tsabit) kebenarannya adalah terlarang, sehingga Imam Muslim menyebutkan hadits dalam muqaddimmah shahih-nya sbb ; “Cukuplah seorang itu disebut pendusta jika ia menyampaikan semua yang ia dengar (tanpa mencek dulu kebenarannya).”[34] Dalam hadits lainnya Nabi SAW melarang kita untuk melakukan ‘qila wa qala’ (banyak-omong) yang disebutkan oleh beliau SAW, bahwa maknanya yaitu : “Orang yang banyak menyampaikan berita yang banyak dibicarakan orang tanpa melakukan re-check (tatsabbut), juga merenungkan dalam-dalam akan kebenarannya (tadabbur) dan juga mencari bukti-bukti (tabayyun).”[35] Apalagi jika ia sendiri sudah meragukan kebenaran berita tersebut tapi masih juga disampaikannya, perbuatan ini diancam dengan sebuah hadits : “Barangsiapa menceritakan sebuah berita, lalu ia sendiri menyangka bahwa berita tersebut tidak benar, maka ia termasuk diantara 2 orang yang berdusta (bersama pembawa beritanya).” [36]
Kalau engkau katakan padaku, bahwa ayat di atas ini berlaku hanya bagi berita tentang peperangan kaum muslimin dan bukan tentang kebijakan khusus qiyadah, maka aku jawab : Bahkan ayat ini sabab nuzulnya adalah berkaitan dengan isu kebijakan qiyadah (yaitu Nabi SAW) yang kemudian digunjingkan orang (padahal isu tersebut tidak benar), sebagaimana dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim sbb ; Dari Umar Ibnil Khaththab RA mendengar orang-orang mengatakan bahwa Nabi SAW telah menceraikan istri-istrinya , maka iapun datang ketika masuk ke masjid ia mendengar orang-orang menyampaikan kabar tersebut, maka ia tidak berkata-kata melainkan langsung mendatangi Nabi SAW lalu menanyakannya : “Apakah antum benar telah men-thalaq mereka?” Jawab Nabi SAW : “Tidak.” Maka Umar RA langsung ke mesjid lalu berteriak sekuat tenaganya : “ALLAHu akbar! Nabi SAW tidak men-thalaq istri-istrinya!” Maka turunlah ayat ini : “Dan jika mereka mendengar berita ttg keamanan atau ketakutan mereka lengsung menyebarkannya…”[37]
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk dosa-dosa besar, Imam Al-Baghawi dan Imam As-Suyuthi dalam tafsir keduanya sampai langsung menyebutkan bahwa para pelakunya adalah kaum munafiqin[38]; hal ini dikuatkan oleh Sayyid Quthb[39], beliau –rahimahuLLAH- menambahkan bahwa sifat seperti ini hanya keluar dari orang-orang yang munafiq, karena dalam ayat2 sebelumnya telah disebutkan sifat-sifat lain yang mengiringi sifat ini, yaitu : Pertama, mulai berlambat-lambat dalam tugas-tugas dakwah dan jihad (la yubath-thi’anna)[40]; kemudian Kedua, kalau ia melihat ikhwah yang mendapat kesulitan dalam dakwah maka ia berkata ALLAH melindungiku dari tugas tersebut, tapi jika ia melihat ikhwah dapat bagian yang nikmat dari dakwah maka ia menyesal mengapa tidak ialah yang diberi tugas tersebut[41]; lalu Ketiga, mereka selalu bicara ingin berjihad, namun saat sudah diberi tugas jihad maka mereka mundur dan beralasan belum siap dsb[42]; kemudian Keempat, mereka selalu mencela kebijakan qiyadah (Nabi SAW), jika menang maka mereka menyatakan kemenangan ini dari ALLAH, tapi saat kalah atau terjadi kesalahan maka mereka berkata ini dari (kebodohan/kesalahan) kamu wahai Muhammad[43]; lalu Kelima, jika mereka di depan qiyadah maka mereka diam/seolah-olah setuju, tapi begitu di luar maka mereka mengatakan apa yang tidak berani mereka katakan saat di forum qiyadah tersebut[44]; Barulah sifat Keenam dari mereka adalah menyebar isu, yang telah kita bahas di atas, Ya ALLAH lindungi kami dari segala sifat kemunafikan, dan jadikan teguhkan kaki kami untuk menjadi mujahid yang istiqamah menegakkan kalimah-MU, yaitu orang-orang yang sebagaimana disabdakan oleh lisan kekasih kami, Nabi-MU yang mulia SAW :“Alangkah berbahagianya seorang hamba, yang selalu siap memacu kendaraannya di jalan ALLAH, rambutnya telah kusut-masai dan kakinya telah penuh dengan debu, tetapi jika ia ditugaskan digaris belakang maka ia lakukan dengan sebaik-baiknya, dan jika ia ditugaskan di garis depan maka iapun melakukannya dengan sebaik-baiknya, tetapi jika ia meminta izin maka tidak pernah diizinkan dan jika ia memberi syafa’at maka tidak diterima syafa’atnya (karena miskinnya dan tidak dianggap).” [45]

Comments :

0 komentar to “MANHAJUT TATSABBUT WAT TABAYYUN FIL ISLAM”

Posting Komentar

 

Total Yang Silaturahim